Sore itu, teoatnya saat matahari tenggelam. Terlihat sesosok manusia dengan giatnya berjalan sembari menarik gerobak yg tertutupi dengan perabotan hingga tak nampak badan gerobaknya. Ya, Ia adalah seorang pedagang perabotan keliling. Usianya sudah mencapai kepala 5. Setiap pulang magrib, saya selalu melihatnya berjalan di tepian jalan kemantren sumber. Entah karena kebetulan, atau memang rutinitasnya yg tak kenal lelah dalam mencari nafkah. Saat adzan magrib berkumandang, saya berhenti di tepi jalan untuk membeli barang dagangannya. Ketika sedang memilah-milah, saya iseng bertanya, "Sampe jam berapa Pak dagang keliling kaya gini?"
"Sampe jam 3 neng, malah kadang saya ga pulang." Jawabnya.
Jujur, sedikit ga percaya sih ._.
Tapi kemudian beliau menceritakan sedikit tentang hidupnya.
Menurut pandangan saya saat mendengar ceritanya, Ia seorang kepala keluarga yg tinggal di keluarga yg tidak berkecukupan *Yaiyalah kalo berkecukupan ngapain juga keliling cape-cape*. Memang sudah sewajarnya seorang Bapak mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Namun baginya kini, hanya anak-anaknya yang menjadi semangatnya dalam mencari nafkah, karena istrinya sudah meninggal dunia. Rata-rata anaknya masih bersekolah, hanya 1 yang sudah kerja itu pun dengan pendapatan kotor 30rb/hari. Beliau jg menceritakan keluh kesah tentang kehidupannya yang penuh dengan diskriminasi dikarenakan status sosialnya. Orang yang tidak berada seharusnya dibantu, dirangkul agar tetap kuat dalam menjalani hidup. Namun yang Ia alami justru sebaliknya. Ia tidak mendapat bantuan dari pemerintah, anak-anaknya tidak mendapat beasiswa karena pihak RT/RW enggan untuk mengurus surat tidak mampu anak beliau. Bahkan ketika lebaran Idul Adha, Ia mengaku sama sekali tidak mendapat bagian daging kurban sehingga Ia tidak dapat mencicipi daging. Sungguh menyedihkan. Bukan pemerintah yang enggan memberi bantuan, namun terkadang pemerintah tidak mengetahui pendistribusian bantuan yg tidak benar sehingga tidak tepat sasaran. Kalau sudah begini aku yg masih jadi pengangguran bisa apa?*loh*
>>>back to topic<<<
Bukan hanya dari aparat setempat, tapi sanak saudara pun enggan memperlakukan keluarganya dg baik.
Tak jarang ketika keluarganya berkunjung ke sanak saudaranya, Beliau justru mendengar perkataan yang menyakitkan.
"Main kesini bisanya cuma utang aja."
Begitulah kurang lebihnya.
Yaa, bisa dibayangkan pendapatan dari menjual perabotan memang tak seberapa dan tak menentu untuk mencukupi kebutuhannya, apalagi ditambah biaya pendidikan yg harus beliau tanggung sendiri. Wajar jika Ia harus meminjam kesana kemari demi mencukupi kebutuhannya yg mendesak. Lelah dan cacian mungkin sudah bersahabat dengannya. Mau tak mau harus Ia hadapi. Semua orang tentu menginginkan hidup yg berkecukupan, tidak ada yg menginginkan kehidupan seperti ini. Tapi apa daya kalo Tuhan sedang memberikan ujian bagi hambaNya, yaaa wayahna harus tetap sabar dan banyak berdoa
Allah tidak akan memberi ujian diluar kemampuan hambaNya, dan kehidupan di dunia pasti berputar. Semoga sesegera mungkin, keluarga beliau bisa terangkat derajatnya sehingga dapat hidup bahagia dan berkecukupan amiin
"Sampe jam 3 neng, malah kadang saya ga pulang." Jawabnya.
Jujur, sedikit ga percaya sih ._.
Tapi kemudian beliau menceritakan sedikit tentang hidupnya.
Menurut pandangan saya saat mendengar ceritanya, Ia seorang kepala keluarga yg tinggal di keluarga yg tidak berkecukupan *Yaiyalah kalo berkecukupan ngapain juga keliling cape-cape*. Memang sudah sewajarnya seorang Bapak mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Namun baginya kini, hanya anak-anaknya yang menjadi semangatnya dalam mencari nafkah, karena istrinya sudah meninggal dunia. Rata-rata anaknya masih bersekolah, hanya 1 yang sudah kerja itu pun dengan pendapatan kotor 30rb/hari. Beliau jg menceritakan keluh kesah tentang kehidupannya yang penuh dengan diskriminasi dikarenakan status sosialnya. Orang yang tidak berada seharusnya dibantu, dirangkul agar tetap kuat dalam menjalani hidup. Namun yang Ia alami justru sebaliknya. Ia tidak mendapat bantuan dari pemerintah, anak-anaknya tidak mendapat beasiswa karena pihak RT/RW enggan untuk mengurus surat tidak mampu anak beliau. Bahkan ketika lebaran Idul Adha, Ia mengaku sama sekali tidak mendapat bagian daging kurban sehingga Ia tidak dapat mencicipi daging. Sungguh menyedihkan. Bukan pemerintah yang enggan memberi bantuan, namun terkadang pemerintah tidak mengetahui pendistribusian bantuan yg tidak benar sehingga tidak tepat sasaran. Kalau sudah begini aku yg masih jadi pengangguran bisa apa?*loh*
>>>back to topic<<<
Bukan hanya dari aparat setempat, tapi sanak saudara pun enggan memperlakukan keluarganya dg baik.
Tak jarang ketika keluarganya berkunjung ke sanak saudaranya, Beliau justru mendengar perkataan yang menyakitkan.
"Main kesini bisanya cuma utang aja."
Begitulah kurang lebihnya.
Yaa, bisa dibayangkan pendapatan dari menjual perabotan memang tak seberapa dan tak menentu untuk mencukupi kebutuhannya, apalagi ditambah biaya pendidikan yg harus beliau tanggung sendiri. Wajar jika Ia harus meminjam kesana kemari demi mencukupi kebutuhannya yg mendesak. Lelah dan cacian mungkin sudah bersahabat dengannya. Mau tak mau harus Ia hadapi. Semua orang tentu menginginkan hidup yg berkecukupan, tidak ada yg menginginkan kehidupan seperti ini. Tapi apa daya kalo Tuhan sedang memberikan ujian bagi hambaNya, yaaa wayahna harus tetap sabar dan banyak berdoa
Allah tidak akan memberi ujian diluar kemampuan hambaNya, dan kehidupan di dunia pasti berputar. Semoga sesegera mungkin, keluarga beliau bisa terangkat derajatnya sehingga dapat hidup bahagia dan berkecukupan amiin


